Wednesday, September 25, 2013

Di Minahasa Day oleh Badan Perpustakaan & Arsip Daerah Jakarta


Mencoba Kolintang di Minahasa Day


Jakarta, BPADJAKARTA.NET – Kebudayaan, nafas sebuah peradaban. Akar pokok bangsa yang tidak bisa dilupakan di tengah kemajuan dunia. Atas dasar pemikiran tersebut  Sanggar Bapontar bekerja sama dengan Bentara Budaya Jakarta mengadakan Minahasa Day: Kolintang Inspirasi Indonesia 1.
Acara diadakan di Bentara Budaya Jakarta, Palmerah Jakarta Selatan dan terbuka gratis untuk umum. Rangkaian acara yang  berlangsung sejak Selasa, 20 Agustus 2013 ini bertujuan untuk memperkenalkan budaya Minahasa kepada masyarakat umum.
Sanggar Bapontar adalah sanggar tari dan musik yang didirikan oleh Beiby Sumanti dan bertujuan untuk mengangkat musik Kolintang sebagai bagian dari jiwa orang Minahasa. Jiwa Minahasa yang tertera pada segenap nada alat musik Kolintang adalah jiwa Bangsa yang berpadu dalam rasa kebersamaan.
Beragam kegiatan disajikan dalam “Minahasa Day On BBJ”. Pengunjung yang hadir dapat menyaksikan pameran foto masyarakat Minahasa. Pengunjung juga dapat melihat-lihat beragam jenis kain adat khas Minahasa bernama Bentenan. Diselenggarakan pula diskusi kebangsaan yang menghadirkan tokoh masyarakat Minahasa, sekaligus akademisi dan rohaniwan Prof. DR. Pdt. Roeroe, S.Th. Hadir pula Jessy Wenas, budayawan dan seniman Kolintang Minahasa dan pemutaran film yang menampilkan alat musik tradisional Minahasa, Kolintang.
Uniknya, pengunjung yang datang dapat mencoba memainkan alat musik Kolintang yang dipamerkan. Ada sembilan buah alat musik asli khas Minahasa yang dapat Anda coba. Tiap alat memiliki cara dan ketukan tersendiri untuk memainkannya.
Selain memamerkan alat musik dan tarian, pengunjung yang hadir dapat mencicipi makanan khas minahasa yang penuh dengan rempah-rempah dan pedas.
Malam hari, Akan digelar pertunjukan Tari Kabasaran dan Tari Lenso khas Minahasa dan penampilan  musik Kolintang oleh Bapontar Kids dan Bapontar Dunia yang akan berkolaborasi dengan Yoyo Bassman, pemain instrumen gitar bass Indonesia.
Puncak acara akan diadakan pada tanggal 24 Agustus 2013 di Gedung Kesenian Jakarta. Dalam puncak acara nanti akan ada pagelaran musik Kolintang karya Almarhum Fanny Lesar. Pagelaran ini terbuka untuk umum dan tidak dipungut biaya. (Pat Vi)




Sejarah Musik Kolintang



SEJARAH  RIWAYAT KOLINTANG


KOLINTANG DAN PERKEMBANGANNYA.
Kolintang merupakan alat musik kayu khas dari Minahasa (Sulawesi Utara) yang mempunyai bahan dasar yaitu kayu yang jika dipukul dapat mengeluarkan bunyi yang cukup panjang dan dapat mencapai nada-nada tinggi maupun rendah seperti kayu telur, bandaran, wenang, kakinik atau sejenisnya (jenis kayu yang agak ringan tapi cukup padat dan serat kayunya tersusun sedemikian rupa membentuk garis-garis sejajar).


Kata Kolintang berasal dari bunyi : Tong (nada rendah), Ting (nada tinggi) dan Tang (nada tengah). Dahulu Dalam bahasa daerah Minahasa untuk mengajak orang bermain kolintang: "Mari kita ber Tong Ting Tang" dengan ungkapan "Maimo Kumolintang" dan dari kebiasaan itulah muncul nama "KOLINTANG” untuk alat yang digunakan bermain.


KOLINTANG BAND
Bentuk ”Kolintang Band” pertama muncul diwilayah tonsea Minahasa sekitar tahun 1940-an, menurut Bapak Alfred Sundah (1990) para pemusik kolintang Band Tonsea masih malu-malu karena menggunakan alat musik melodi dari kayu buatan mereka sendiri. Tapi NELWAN KATUUK tidak peduli bahkan menikmati orkes musik yang baru ini justru karena dia Tuna Netra.

Yang menamakan Xylophone kayu dengan sebutan KOLINTANG bukanlah NELWAN KATUUK tetapi masyarakat Tonsea, hingga muncul dua istilah yakni kolintang kayu dan kolintang tembaga (Gong).
Dengan komposisi peralatan musik seperti inilah jenis musik kolintang band menjadi terkenal di masyarakat Minahasa, Xylaphone kayu buatan sendiri, lagu cipataan sendiri dan aransemen lagu dibuat sendiri, kreasi musik tidak tergantung pada siapapun.
Lahirnya musik kolintang band tidak telepas dari karya musik Nelwan Katuuk yang membuat alat musing Xylophone kayu bertangga nada diatonis yang akhirnya menjadi terkenal diseluruh Minahasa.
Nelwan Katuuk lahir pada tanggal 30 maret 1920, pada usia 12 tahun telah menjadi pemukul kolintang perunggu (Gong) untuk memanggil para pekerja Mapalus. Dia menggunakan nada (14*)
/ 11 55 3 5 / 11 55 3 5 /
Pada usia 20 tahun Nelwan sudah dapat memainkan biola dan alat musik Hawaien, tapi kedua alat musik itu sudah sangat sulit ditemukan di Minahasa. Lalu seseorang bernama William Punu membuat alat musik Xylophone kayu (Tetengen) bertangga nada diatonis untuk dimainkan sebagai melodi menggantikan Hawaien (15*).
Tahun 1943 setelah Jepang mendarat di Minahasa pada perang dunia ke-II, seorang Jepang memberikan alat musik Hawaien, sehingga Nelwan Katuuk menggunakan tiga alat musik sebagai melodi dalam pertunjukan musiknya. Xylaphone dari kayu Wanderan yang kemudian disebut kolintang kayu, biola dan hawaien, kelompok musiknya dinamakan ”NASIB” denga anggota: (16*)
Nelwan Katuuk : Melodi merangkap Penyanyi
Daniel Katuuk : Gitar akustik
Budiman : String bass
Lontoh Katuuk : Jukulele
Tahun 1945 menciptakan lagu instrumentalia diberi judul ”Mars New Ginea” mendapat ilham dari kekalahan Jepang di Papua (Irian) oleh sekutu (Amerika-Autralia), pada tahun 1957 lagu ini sering didengarkan di radio Australia dengan nama ”Cipson”.
Kelompok musik kolintang band lainnya yang terkenal dimasyarakat Minahasa pada peride itu bernama ”Tumompo Tulen” :
Leser Putong : Melodi
Bibi Putong : String Bass
Wakkari Tuera : Gitar akustik
Usop : Jukulele
Doortje Rotty : Penyanyi
Kolintang band ini dan lainnya tidak menciptakan lagu dan hanya mengisi acara hiburan musik, hingga karya musiknya tidak menembus jaman menuju keabadian seperti karya musik dan lagu Nelwan Katuuk.
Sekitar tahun 1950-an kolintang band mendapat sebutan nama lain yakni orkes kolintang, tapi dalam penampilannya lebih populer disebut ”Kolintang Engkel” Karena hanya menggunakan satu alat kolintang kayu berfungsi sebagai melodi (17*)

(14*) Rachel Katuuk, Suwaan Tonsea 29 Mei 2007. (Wawancara)
(15*) Jantje Dungus, Suwaan Tonsea 28 Mei 2007. (Wawancara)
(16*) Rachel Katuuk, Suwaan Tonsea 29 Mei 2007. (Wawancara)
(17*) Jantje Dungus, Suwaan Tonsea 29 Mei 2007. (Wawancara)

Orkes kolintang kemudian mulai berkembang sampai keluar Minahasa. Antara sampai di tanah Jawa tepatnya di Bandung, bernama kolintang ”Maesa Bandung” tahun 1959.
Orkes Kolintang pimpinan; Hannes Undap ini terdiri dari;
Melodi : Nico Koroh, Gitar Akustik : Reni Mailangkai, Jorry Mowilos, Jukulele : Ferdie Lontoh
bersama Ben Makalew, String Bass : Jessy Wenas
Penyanyi : Elly Doodoh dan Winter Sisters
Karena alat musik kolintang yang dipesan dari Manado tidak punya kaki, maka dalam pertunjukan pentas kolintang diletakkan pada dua buah kursi.

Orkes Kolintang
Walaupun sudah berganti nama orkes kolintang periode 1950 – 1964, tetapi penampilannya masih mirip kolintang band, dan sudah mulai menggunakan nada ½ (setengah) : di – ri – fi – sel – le .

Para pemain melodi kolintang kayu pada periode ini antara lain; (18*) 


  1. Janjte Dungus (Suwaan – Tonsea) Kolintang ” Karpilo”
  2. Josep Iwi Sundah (Lembean)
  3. Gustaaf Warouw (Tondano) Kolintang ”Rayuan Masa”
  4. Bert Rako (Kakaskasen – Tomohon)
  5. Worang Ransun (Maumbi – Tonsea )
Sesudah Perang Dunia II, barulah kolintang muncul kembali yang dipelopori oleh Nelwan Katuuk (seorang yang menyusun nada kolintang menurut susunan nada musik universal). Pada mulanya hanya terdiri dari satu Melody dengan susunan nada diatonis, dengan jarak nada 2 oktaf, dan sebagai pengiring dipakai alat-alat "string" seperti gitar, ukulele dan stringbas.


Tahun 1954 kolintang sudah dibuat 2 ½ oktaf (masih diatonis). Pada tahun 1960 sudah mencapai 3 ½ oktaf dengan nada 1 kruis, naturel, dan 1 mol. Dasar nada masih terbatas pada tiga kunci (Naturel, 1 mol, dan 1 kruis) dengan jarak nada 4 ½ oktaf dari F s./d. C. Dan pengembangan musik kolintang tetap berlangsung baik kualitas alat, perluasan jarak nada, bentuk peti resonator (untuk memperbaiki suara), maupun penampilan.
Saat ini Kolintang yang dibuat sudah mencapai 6 (enam) oktaf dengan chromatisch penuh.



PERALATAN & CARA MEMAINKAN.
Setiap alat memiliki nama yang lazim dikenal. Nama atau istilah peralatan Musik kolintang selain menggunakan bahasa tersebut diatas juga memiliki nama dengan menggunakan bahasa Minahasa, dan untuk disebut lengkap alat alat tersebut berjumlah 9 buah. Tetapi untuk kalangan professional, cukup 6 buah alat sudah dapat memainkan secara lengkap. Kelengkapan alat tersebut sebagai berikut:

M - Melody 1    [Ina Esa]
     - Melody 2   [Ina Rua]
     - Melody 3   [Ina Taweng]

 A - Alto 1  [Uner]
       Alto 2  [Uner Rua]

 U - Alto 3/Ukulele  [Ka Telu]
 T - Tenor 1  [Ka Rua]
       Tenor 2  [Karua Rua]
 C - Cello  [Cella]
 B - Bass  [Loway]


MELODY  [Ina Esa/Rua/Taweng]
Fungsi pembawa lagu, dapat disamakan dengan melody gitar, biola, xylophone, atau vibraphone. Hanya saja dikarenakan suaranya kurang panjang, maka pada nada yang dinginkan; harus ditahan dengan cara menggetarkan pemukulnya( rall). Biasanya menggunakan dua pemukul, maka salah satu melody pokok yang lain kombinasinya sama dengan orang menyanyi duet atau trio (jika memakai tiga pemukul). Bila ada dua melody, maka dapat digunakan bersama agar suaranya lebih kuat. Dengan begitu dapat mengimbangi pengiring (terutama untuk Set Lengkap) atau bisa juga dimainkan dengan cara memukul nada yang sama tetapi dengan oktaf yang berbeda. Atau salah satu melody memainkan pokok lagu, yang satunya lagi improvisasi.




ALTO I - 2  [Uner Esa/Rua]
Adalah alat Pengiring [gitar], pemukul [stik] terdiri dari 3 [tiga] buah, untuk mengetuk nada-nada dasar/rangkuman sesuai kebutuhan dan tuntutan lagu yang dibawahkan, seperti nada C; yang akan di pukul adalah nada [1] -  [3 - 5].
Nada 3 - 5 adalah rangkuman dari Nada C=1, Jadi C = 1 - 3 - 5.




ALTO 3/Ukulele  [Ka Telu]
Pada kolintang, alat ini sebagai ‘cimbal’, karena bernada tinggi. Maka pemukul Alto3 akan lebih baik jika tidak berkaret asal dimainkan dengan halus agar tidak menutupi nada suara yang dihasil oleh Melody (lihat petunjuk pemakaian bass dan melody contra).

TENOR  1 - 2 [Karua - Karua Rua] [Banyo]

Sama dengan Alto 1-2, untuk memperkuat pengiring bernada rendah tapi lebih bervariatif cara memainkannya.




BASS  [Loway] & CELLO  [Cella)
Alat ini berukuran paling besar dari pada yang lain, contoh lain;
Bersama melody dapat disamakan dengan piano, yaitu; tangan kanan pada piano diganti dengan melody, tangan kiki pada piano diganti dengan cello. Tangan kiri pada cello memegang pemukul no.1 berfungsi sebagai bas, sedangkan tangan kanan berfungsi pengiring (pemukul no.2 dan no.3). Maka dari itu alat ini sering disebut dengan Contra Bas. Jika dimainkan pada fungsi cello pada orkes keroncong, akan lebih mudah bila memakai dua pemukul saja. Sebab fungsi pemukul no.2 dan no.3 sudah ada pada tenor maupun alto.


SUSUNAN STANDAR ALAT


Lengkap (9 pemain) :

Melody 1 - Depan tengah-kiri [Ina Esa]   Melody 2 - Depan tengah-kanan [Ina Rua]
Alto 1 [Uner Esa]   Ukulele  [Ka Telu]  Alto 2  [Uner Rua]
Bass - Belakang kiri
Bass [loway] belakang-kiri dan Cello [cella] belakang-kanan


Formasi alat, tergantung dari jumlah pemain, dan juga tergantung lebar panggung (2 atau 3 baris) dengan memperhatikan lokasi dan fungsi alat (Tenor, Alto).




NADA-NADA DASAR
Nada nada contoh dalam alat musik kolintang, sebagai berikut:


C = 1 - 3 - 5
D = 2 - 4 - 6
E = 3 - 5 - 7
F = 4 - 6 - 1
G = 5 - 7 - 2
A = 6 - 1 - 3
  B = 7 -  2  - 4


Sedangkan chord lain, yang merupakan pengembangan dari chord tersebut diatas, seperti C7 = 1 3 5 6, artinya nada do diturunkan 1 nada maka menjadi le . Sehingga saat membunyikan 3 bilah dan terdengar unsur bunyi nada ke 7 dalam chord C, maka chord tersebut menjadi chord C7. Demikian pula dengan chord yang lain.



CARA Memegang pemukul/ stick kolintang
Memegang Pemukul Kolintang, memang tidak memiliki ketentuan yang baku, tergantung dari kebiasaan dan kenyamanan tangan terhadap stik. Tetapi umumnya memegang stick kolintang dilakukan dengan cara :
No. 1 Selalu di tangan kiri
No. 2 Di tangan kanan (antara ibu jari dengan telunjuk)
No. 3 Di tangan kanan (antara jari tengah dengan jari manis) – agar pemukul no.2 dapat digerakkan dengan bebas mendekat dan menjauh dari no.3, sesuai dengan accord yang diinginkan. Dan cara memukul dan disesuaikan dengan ketukan dan irama yang diinginkan, dan setiap alat memiliki, ciri tertentu sesuai fungsi didalam mengiringi suatu lagu. Pada alat Bass dan alat Melody umumnya hanya menggunakan 2 stick, sehingga lebih mudah dan nyaman pada tangan.
( Nomor nomor tersebut diatas telah tertera disetiap pangkal pemukul stick masing masing alat kolintang)


Teknik Dasar memainkan stick pada bilah kolintang sesuai alat dan jenis irama.

Dari sekian banyak irama dan juga lagu yang ada beberapa lagu sebagai panduan untuk memainkan alat musik kolintang disertakan dalam materi ini. Seperti: Esa Mokan, Sarinande, Lapapaja, Halo-Halo Bandung, Burung Kaka Tua, Lurih Wisako, Spanish Eyes, dll.

Lagu lagu tersebut memiliki tingkat kesulitan yang berbeda baik chord dan irama. Lagu lagu tersebut telah dilengkapi dengan partitur serta chord/ accord untuk memudahkan memahami alat musik kolintang.


Demikian pula dengan teknik memukulkan stick pada bilah kolintang. Karena sesuai irama yang beraneka ragam, maka untuk menghasilkan irama tertentu maka teknik memukulkan stik pada tiap alat pun berbeda beda. Pada materi ini, diberikan teknik teknik dasar cara memukulkan stick pada kolintang. Untuk dapat memahami teknik, dibutuhkan pengetahuan akan harga dan jumlah ketukan dalam setiap bar nada. Dan berbekal pengetahuan dasar dasar bermain kolintang ini saja, ditambah dengan bakat individu, maka grup/ kelompok musik kolintang telah dapat memainkan berbagai jenis lagu dengan tingkat kesulitan yang variatif secara spontan.


***) tulisan ini hasil rangkuman dari beberapa pemikiran dan temuan tentang sejarah musik 

        kolintang  asal Minahasa.


Tari Perang KABASARAN





"KABASARAN"
NAMA TARI PERANG MINAHASA

Sebetulnya sampai hari ini umumnya orang masih kurang mengetahui dengan cukup nama “Kabasaran” pada Tari Perang Minahasa. Secara semantik maupun etimologinya, memang tidak pas. Akar katanya, yakni “basar”, hanya dapat dipadankan dengan kata “basar” yang merupakan lafal dialek Melayu-Manado dari kata “besar” (lawan kata “kecil”) dalam bahasa Melayu. Berarti, bukan asli, dan baru berkembang belakangan.
Sesungguhnya, apa dan mengapa “kabasaran”?
Kabasaran adalah asli nama dari kata Minahasa, bukan berakar pada bahasa Melayu. Kabasaran berasal dari bahasa Bantik, salahsatu subetnis Minahasa.
Mengapa Bantik? Bukankah budaya sub-etnik yang pernah dominan dalam budaya Minahasa adalah – bergantian – Tonsawang dan Pasan-Ponosakan, Tombulu, Tonsea, kemudian Tontemboan dan Toulour. Ini soal sejarah kebudayaan [di Minahasa] yg sangat penting. 

Proses pendominasian oleh budaya Barat (Portugis, Spanyol dan kemudian Belanda) berlangsung sangat efektif; bukan saja karena besarnya kadar efektivitas dari pihak dominator (kekuasaan kolonial) tetapi pula karena terdapat nilai-nilai budaya asli Minahasa yang mendorong penduduk di jazirah utara Sulawesi ini terbilang sangat membuka diri pada budaya Barat itu. Sementara itu, masyarakat Bantik, bukan saja di satu sisi belum langsung menjadi target utama Belanda (karena para antropolog dan etnolog dari Belanda belum memiliki pengetahuan yang memadai mengenai budaya Bantik), tetapi pula bersamaan dengan itu adalah masyarakat Bantik pulalah yang secara massif mengembangkan sikap counter-culture [hampir sepadan dengan Saminisme]. 

Catatan: Di sini saya katakan paling “massif”, sebab di semua subetnis Minahasa ada sikap seperti itu, tetapi hanya pada segelintir elite budayanya.



Nah, dalam posisi dan kondisi kultural Bantik dalam perbandingannya dengan subetnis Minahasa lainnya itulah, ketika di akhir 1950-an beriring semangat gerakan Permesta, kemudian antitesanya (masa berkuasanya PKI) yang tetap mengangkat seni budaya rakyat sesuai ideologi budayanya yakni Realisme-Sosialis, dan terus sampai memuncak pada masa pemerintahan Gubernur HV Worang yang berjuang secara extra untuk me-revival budaya Minahasa, ketika tari perang dikembangkan kembali di kampung-kampung seluruh Minahasa, dan kelompok-kelompok tari perang Bantik terbilang paling menonjol hingga tahun 1970-an, sementara nama yang dipakai selama itu yakni nama “Cakalele” yang diketahui juga digunakan masyaraka dari Maluku, maka nama dari Tari Perang Bantik “Kabasaran” itulah yang mulai meluas digunakan. 
[Di kalangan penari perang Minahasa selain Bantik, kata “cakalele” bukan saja nama tariannya, tapi bahkan menjadi bagian inheren dari teks skenario sendratari tsb, diucapkan sebagai komando oleh pemimpinnya: “Cakalele!”]

Walaupun kebanyakan orang di kalangan semua subetnis Minahasa selain Bantik, tak terkecuali para penari Kabasarannya sendiri, umumnya tak tahu arti nama itu. Umumnya menganggap pemakaian nama/kata Kabasaran itu karena identik dengan kebesaran dan keagungan dari kondisi kemenangan perang – semacam perasaan triumphalic.
Jadi, apa arti Kabasaran dalam bahasa aslinya?

Kabasaran dalam bahasa Bantik berakar dari “kawasal ni sarian”; “kawasal”=mengikut/menurut, “sarian”=pemimpin-pasukan. Kawasal ni sarian : mengikuti arah dan komando sang pemimpin. Dalam hal tari: mengikuti gerak dan arahan pemimpin kelompok tari perang.

Lalu bagaimana “Kawasal ni Sarian” menjadi Kabasaran?
Ada 2 sekaligus gejala bahasa – yg sangat lumrah – yang terjadi di sini. Pertama pemendekan, kedua transfonetik atau perubahan bunyi. Pemendekan, misalnya: “can not” dlm bahasa Inggris menjadi cannot lalu berkembang lagi menjadi can’t, “pergi ke sana” atau “pergi sono” dalam dialek Jakarta menjadi “gi no”, atau “se kawanuata” dalam bahasa Minahasa menjadi “kawanua” saja tanpa perubahan arti. Begitulah “Kawasal ni Sarian” menjadi “Kawasalan” yang bukan saja tanpa berubah arti tapi bahkan lebih luas menjadi keseluruhan dari tari perang itu, bukan lagi hanya mengenai sikap para anggota penari [yang harus mengikuti pemimpinnya].
Mengenai proses transfonetik. Ada 2 yang terjadi. Huruf “w” menjadi “b” itu adalah gejala overcorrecting. Misalnya: karena banyak etnis di Nusantara cenderung mengucap “f” dan “v” menjadi “p” – nama Sylvie dipanggil Selpi, Femmy dipanggil Pemi, nafsu ditulis napsu; maka ketika mengoreksi menjadi kebablasan (over): bukan saja napas dikembalikan jadi nafas, pikiran jadi fikiran, tapi juga panas jadi fanas, proklamasi jadi froklamasi. Karena banyak serapan kata Melayu dan Jawa di Minahasa “b” menjadi “w” – batu menjadi watu (Watu Pinawetengan, Watu Tumotowa), babi menjadi wawi – maka terjadi overkoreksi: kawasalan jadi kabasalan, pinawetengan menjadi pinabetengan, padahal basal dan beteng tidak memiliki arti demikian dalam bahasa Bantik maupun subetnis lainnya di Minahasa.
Lalu tentang “L” dalam Kawasalan yang dijadikan “R”. Jangan salah kaprah, banyak ahli bahasa yang cenderung mengira bahwa pergeseran “kawasalan” menjadi “kabasaran” – mengenai konsonan “L” – itu adalah juga overkoreksi. Tidak! Dalam bahasa Bantik bunyi “L” memang cenderung dekat dan digandeng dengan “R”. [Bandingkan: dalam bahasa Tonsea bunyi “L” jadi “D”, loyot (manguni) menjadi doyot, Lumanauw menjadi Dumanauw.] Jadi, kawasalan menjadi kabasaran itu justru semakin mencapai cita asli Bantik. Wilayah pemukiman masyarakat Bantik di Molas, oleh orang Bantik dibilang Molrasa, Bailang dibilang Bailrang, Kalasei dibilang Kalrasei.

Taintu!
Benni E. Matindas, 2013


Kota Tondano

Kota Tondano merupakan ibukota Kabupaten Minahasa, Provinsi Sulawesi Utara. Kota Tondano meliputi empat dari 19 kecamatan yang ada di Kab...