Friday, August 25, 2017

Kota Tondano


Kota Tondano merupakan ibukota Kabupaten Minahasa, Provinsi Sulawesi Utara. Kota Tondano meliputi empat dari 19 kecamatan yang ada di Kabupaten Minahasa, yaitu Kecamatan Tondano Barat dengan jumlah penduduk tahun 2010 sebanyak 18.869 jiwa; Tondano Selatan dengan jumlah penduduk 19.732 jiwa; Tondano Timur dengan jumlah penduduk 13.766 jiwa; dan Tondano Selatan dengan jumlah penduduk 11.170 jiwa. Keseluruhan penduduk Kota Tondano mencapai 63.537 jiwa atau sekitar 20,50 persen dari jumlah penduduk Kabupaten Minahasa.


Kota Tondani meliputi 35 desa/kelurahan tersebar di Kecamatan Tondano Barat sembilan desa/kelurahan, Tondano Selatan tujuh desa/kelurahan, Tondano Timur 11 desa/kelurahan, dan Tondano Utara delapan desa/kelurahan. 
Selain Patung/Makam DR. GSSJ Ratulangie di Kota Tondano, Di Kecamatan Tondano Utara terdapat sebuah desa/kelurahan yang bernama Kampung Jawa. Kampung Jawa merupakan tempat pengasingan Kyai Modjo yang merupakan panglima perang dari Pangeran Diponegoro  (Perang Jawa 1825 - 1830). Kyai Modjo beserta 63 pengikutnya ditempatkan di Tondano mulai tahun 1829, sekitar 19 tahun kemudian meninggal. Para pengikut Kyai Modjo menikahi perempuan Tondano kemudian keturunannya berkembang di Kampung Jawa. Berikut peta Kota Tondano (Tondano Barat, Tondano Timur, Tondano Utara dan Tondano Selatan):
Makam DR. GSSJ Ratulangie



Kota Tondano


Makam Kyai Madja, Tondano - SULUT

Sunday, January 29, 2017

Tari Kawasaran - Minahasa, part 2



TARI  KABASARAN

Tari Kabasaran adalah tari perang rakyat Minahasa. Mengangkat atau memuliakan perang ke dalam karya estetika, memberikan gambaran tentang masyarakat itu sendiri. Berperang memang diluhurkan sebagai krida sangat mulia bagi masyarakat yang gagah berani serta kokoh membela kebenaran dan keadilan. 

“Dr. A. B. Meyer”, seorang peneliti sosio-budaya mayarakat Minahasa, dalam sebuah laporannya sampai menarik kesimpulan: Perang adalah bagian format kebudayaan minahasa lama. Menurut salah satu tokoh kebudayaan dari Minahasa,

“Jessy Wenas”, Tarian ini sebenarnya adalah tarian sakral. Tarian ini ditarikan secara turun temurun oleh generasi penari Kabasaran. Jika dalam upacara adat Minahasa, Kabasaran adalah prajurit adat yang memiliki otoritas penuh dalam jalannya sebuah adat, mereka dulunya bisa membunuh atau mengusir si jahat yang mengganggu upacara.

Dahulunya tarian ini hanya dikeluarkan saat perayaan upacara adat di Minahasa, namun sering dengan perkembangannya, tarian sakral inipun kini bisa ditonton publik untuk kegiatan pariwisata. Sampai saat ini Tarian Kabasaran merupakan salah satu Tarian Sakral di Sulawesi Utara, juga Tarian Sakral Masyarakat suku Minahasa. Tari Kabasaran sangat akrab dalam kehidupan masyarakat Minahasa, mendapat tempat dalam acara- acara besar seperti perkawinan, penjemputan, dan pengawalan secara adat bagi petinggi pemerintah ataupun tokoh masyarakat.

KABASARAN MINAHASA (Wikipedia)

Tou Minahasa atau orang Minahasa dalam sejarahnya merupakan Waraney atau kesatria- kesatria perang di tanah Minahasa (dulunya disebut Malesung). Tarian Kabasaran merupakan pencerminan salah satu kebudayaan Minahasa dari masa lampau. Berperang untuk Tou Minahasa memang merupakan suatu yang diluhurkan sebagai manusia yang gagah berani, mempunyai semangat perjuangan, dan kebijaksanaan.

Pada awalnya Tarian Kabasaran bernama Sakalele dan berubah menjadi Cakalele. “Sakra” berlaga dan “Lele” berlari, berkejaran melompat- lompat. Kata Kabasaran sendiri berasal dari bahasa Minahasa yaitu “Kawasalan”, ini kemudian berkembang menjadi “Kabasaran” yang merupakan gabungan dua kata “Kawasal ni Sarian” “Kawasal” berarti menemani dan mengikuti gerak tari, sedangkan “Sarian” adalah pemimpin perang yang memimpin tari keprajuritan tradisional Minahasa.


Para penari dalam tarian Kabasaran semuanya adalah lelaki, atau disebut Waraney artinya Prajurit atau Kesatria. Pemimpin dalam Tarian adalah Tonaas Wangko artinya pemimpin besar pasukan perang dalm hal ini nerlaku sebagai pemimpin tarian. Pada dasarnya setiap pelaku tarian perang Kabasaran saat menari harus berwajah garang, tidak tersenyum, dan mata melotot. Hal ini menandakan kegarangan dari paskuan perang Kabasaran suku Minahasa di medan tempur. Pelaku tarian perang biasanya berjumpah minimal enam (6) Waraney dan satu(1) Tonaas Wangko. Selain itu ada para penabuh tambor.
Kostum tarian Kabasaran pada dasarnya, adlah tirai- tirai berwarna merah. Warnat merah dipilih karena melambangkan keberanian sedangkan kostum yang berbentuk tirai layaknya baju tempur perang pada jam dahulu. Penutup kepal, biasanya dihiasi dengan paruh burung yang menjulang keatas, dulunya paruh burung tersebut adalah paruh burungTaong dan burung Cendrawasih, disertai dengan buluh buluhnya, ini sebagai lambang kebesaran. Pada bagian depan kostum, biasanya terdapat beberapa tengkorak kepala, tengkorak- tengkorak tersebut melambangkan setiap waraney atau pasukan perang sudah pernah membunuh musuhnya di medan tempur dan kepala musuhnya dipergunakan sebagai tanda kehebatan. Busana yang digunakan dalam tarian ini terbuat dari kain tenun Minahasa asli dan kain “Patola”, yaitu kain tenun merah dari Tombulu dan tidak terdapat di wilayah lainnya di Minahasa, seperti tertulis dalam buku Alfoersche Legenden yang di tulis oleh PN. Wilken tahun 1830, dimana kabasaran Minahasa telah memakai pakaian dasar celana dan kemeja merah, kemudian dililit ikatan kain tenun. Dalam hal ini tiap sub-etnis Minahasa punya cara khusus untuk mengikatkan kain tenun. Khusus Kabasaran dari Remboken dan Pareipei, mereka lebih menyukai busana perang dan bukannya busana upacara adat, yakni dengan memakai lumut-lumut pohon sebagai penyamaran berperang. Warna dan motifnya kain tenun Minahasa seperti : Kokerah, Tinonton, Pasolongan dan Bentenan.

Setiap penari dilengkapi dengan Santi [pedang perang] dan Kelung [perisai] untuk menangkis serangan musuh dan juga Sebagian penari memakai Wengko atau tombak. Keseluruhan kostum dalam tarian perang Kabasaran, setiap orang yang memakai akan merasa dan terlihat gagah layaknya seorang Waraney yang penuh dengan keberanian dan siap untuk bertempur. Tarian Kabasaran selalu di iringi dengan tambor, alat musik yang dipukul. Tambor dipergunakan untuk menambah semangat dari pasukan saat berperang atau saat melakukan tarian perang.




Dalam tarian perang Kabasaran mempunyai aba-aba dari Tonaas Wangko serta pekikan semangat yang diteriakan oleh seluruh Waraney dan Tonaas Wangko. Pada saat tarian perang Kabasaran baru akan dimulai, Tonaas Wangko akan memberi aba-aba:
Masaruan artinya berhadapan, wangunan kelung wo santi artinya angkat pedang dan perisai, 
= Makasampe artinya berdekatan, melompat kecil dua langkah kedepan dan saling mempertemukan perisai, sampai pada aba-aba ini penari perang Kabasaran terbagi dalam dua barisan yang berhadapan dan saling mengangkat pedang dan perisai. 
= Tumbalan Kelung artinya turunkan perisai, aba-aba ini biasanya disertai dengan Sumiki artinya menghormat, memberikan penghormatan kepada lawan, hal ini melambangkan kejantanan seorang Waraney
Adapun hormat yang diberikan kepada orang besar tetap memakai aba-aba Sumiki. Berikut aba- aba Rumenday artinya kembali pada posis semula. 
= Reta'an kelung wo santi artinya menaruh perisai dan pedang, biasanya aba-aba ini, pada bagian Waraney akan menari tanpa pedang dan perisai. 
= Timboyan kelung wo santi artinya mengambil perisai dan pedang.
Mareng tampa artinya pulang atau kembali ketempat semula. 

Semua aba-aba di atas diiringi dengan ketukan tambor dua kali. Tonaas Wangko akan mengeluarkan aba-aba cakalele untuk adanya tarian perang saling berhadap-hadappan, saat aba-aba tersebut diteriakan maka penari akan dengan garang menari mengunakan pedang dan perisai, seakan saling menyerang. 

maleyonda aba-aba ini akan mengisyaratkan para Waraney untuk melakukan tarian dengan tidak mengunakan pedang dan perisai. Pada setiap aba-aba tersebut selain diikuti dengan suara ketukan tambor dua kali, diikuti juga dengan teriakan dari para Waraney.

Saat sudah mulai menari Tonaas Wangko akan mengeluarkan teriakan I Yayat U Santi sebanyak tiga kali, artinya angkat pedang untuk perang, lalu akan dibalas oleh para waraney denga teriakan yang penuh semangat dan mengelegar. Teriakan itu akan menumbuhkan gejolak emosi dan rasa keberanian yang tinggi terhadap para waraney. Selain itu Waraney juga akan mengeluarkan teriakan-teriakan tuama, nyaku tuama, artinya saya laki-laki. Tetapi pengertian “Tuama” dalm bahasa Minahasa bukan hanya sekadar lakai-laki melainkan seorang laki-laki yang penuh dengan keberanian, kebijaksanaan, cerdas, mempunyai jiwa kepemimpinan, dan pantang menyerah.



Tarian ini umumnya terdiri dari tiga babak yang terdiri dari:

1. Cakalele
Yang berasal dari kata saka yang artinya berlaga, dan lele artinya berkejaran melompat lompat. Babak ini dulunya ditarikan ketika para prajurit akan pergi berperang atau sekembalinya dari perang, babak ini menunjukkan keganasan berperang mereka pada tamu agung, serta untuk memberikan rasa aman pada tamu agung yang datang berkunjung, dimana mereka bisa membuat setan takut mengganggu tamu agung dari pengawalan penari Kabasaran.

2. Kumoyak
Yang berasal dari kata koyak artinya, mengayunkan senjata tajam pedang atau tombak turun naik, maju mundur untuk menenteramkan diri dari rasa amarah ketika berperang. Kata koyak sendiri, bisa berarti membujuk roh dari pihak musuh atau lawan yang telah dibunuh dalam peperangan.

3. Lalaya an
Pada bagian ini para penari menari bebas riang gembira melepaskan diri dari rasa berang, dibabak ini para penari bisa berekspresi riang, dibanding dua babak sebelumnya yang mengaharuskan mereka berwajah garang tanpa senyum.



from: stanly ng.

Friday, May 8, 2015

Sejarah Klenteng Tertua “Ban Hin Kiong” di Manado

Posted by 

Klenteng-Ban-Hing-Kiong
Klenteng-Ban-Hing-Kiong
Manado, CYBERSULUTdaily.COM – Salah satu objek wisata di kota Manado yang memiliki daya magnetis, penuh nilai sejarah dan religi adalah klenteng Ban Hin Kiong, dibangun tahun 1819; merupakan klenteng tertua di kota Manado; terletak di kampung Cina.
Semula bangunan klenteng yang kini berusia 194 tahun sangat sederhana; terbuat dari kayu, berdinding papan dan dinding lainnya terbuat dari bambu. bangunannya pada tahun 1839 dilengkapi dengan rumah abu (Kong Tek Su).
Kata Klenteng bukan berasal dari bahasa Tionghoa, tetapi merupakan bunyi suatu instrumen sembahyang, yang berbentuk seperti lonceng genta, yang mengeluarkan bunyi “teng.” Dari bunyi “teng” inilah kata Klenteng (Temple) berasal.
Sedangkan Ban Hin Kiong berasal dari bahasa Tionghoa. Ban artinya banyak, Hin artinya berkat yang melimpah atau kelimpahan berkat, dan Kiong artinya istana. Jadi, Ban Hin Kiong artinya istana/rumah atau tempat ibadah yang kelimpahan banyak berkat.
Klenteng Ban Hin Kiong pada 14 Maret 1970 pernah dibakar oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Kemudian atas inisiatif Nyong Loho (Soei Swie Goan) sebagai ketua Klenteng dan sekaligus sebagai ketua penitia pembangunan membangunnya kembali.
Bangunan Klenteng Ban Hin Kiong telah beberapa kali mengalami renovasi, baik penambahan lantai yang semula hanya satu menjadi tiga maupun penambahan luas ruangan dan halaman.
Hampir berhadapan dengan Klenteng Ban Hin Kiong terdapat 2 (dua) Klenteng lainnya, yaitu Klenteng Kwan Kong dan Klenteng Altar Agung. Klenteng Kwan Kong berjarak sekitar 20 meter, sedangkan Klenteng Altar Agung berjarak sekitar 30 meter dan bangunannya lebih kecil dari Klenteng Ban Hin Kiong.
Setiap tahun pada bulan Februari, areal di sekitar 3 (tiga) Klenteng ini dipadati dan disesaki puluhan ribu manusia. Orang-orang tampak menyemut menyaksikan arak-arakan peserta pawai Cap Go Meh yang menampilkan berbagai atraksi memukau, yang ditampilkan setiap tahun dalam rangka hari raya Imlek.
Dapat dikunjungi setiap saat, namun waktu terbaik untuk mengunjungi klenteng yang terletak di jalan Donald Isaac Panjaitan ini adalah pada saat menjelang hari raya Imlek.
Pada saat pelaksanaan pawai Cap Go Meh, di kampung Cina terutama lokasi di sekitar 3 (tiga) Klenteng yang berdekatan berubah menjadi lautan manusia. Puluhan ribu orang datang untuk menyaksikan dari dekat prosesi Goan Siau atau Cap Go Meh, yang diikuti oleh seluruh Klenteng di kota Manado. Masing-masing Klenteng mengutus peserta festival untuk berparade di sepanjang kawasan kampung Cina. “Saya tertarik melihat atraksi Tang Sin,” kata seorang pengunjung.
Pada saat pelaksanaan festival Cap Go Meh, budaya-budaya di Minahasa juga ikut berpartisipasi. Di depan parade misalnya ditempatkan tari dan musik tradisional Minahasa seperti tari kabasaran, musik bambu, dan musik bia (kerang) ikut berbaur bersama parade etnis Cina yang tampil dengan ornamen dan pakaian khas. (***mkc)

Friday, December 27, 2013

KOLINTANG needs Recognize by UNESCO

Kolintang needs UNESCO recognition

Mon, February 25 2013 16:13 | 1425 Views


Photo document of the students Manado, North Sulawesi, played a musical instrument kolintang at the National Press Day (HPN), February 9, 2013.(ANTARA/Jessica Helena Wuysang)
 "We will propose kolintang to UNESCO..."
Related News
Jakarta (ANTARA News) - The traditional kolintang musical instrument from Minahasa district in North Sulawesi province needs to receive official recognition from UNESCO as an intangible cultural heritage like angklung from West Java.

Kolintang has been known all over Indonesia and was often brought in cultural missions to various countries in the world but it has not been as lucky as angklung which has been recognized as a world intangible heritage.

Therefore, the provincial government of North Sulawesi will propose that wooden musical instrument of kolintang to UNESCO for an official recognition.

"We will propose kolintang to UNESCO to be recognized as an intangible cultural heritage from North Sulawesi," local culture and tourism office spokesman Suprianda Ruru said in Manado recently.

Before that musical instrument is proposed to UNESCO, several preliminary activities will be held to unite a perception about kolintang.

"Various workshops, seminars, and kolintang festival have been held in Minahasa district and elsewhere to recommend kolintang into a world cultural heritage," Suprianda said.

Meanwhile, jazz musician Dwiki Dharmawan said in Jakarta over the weekend that a number of Indonesian students would perform kolintang music at the Internationale Tourismus-Bourse (ITB) Berlin in Germany, on March 6-10, 2013.

"A group of 15 Junior High School (SPP) students will play the kolintang musical instrument during the event of ITB Berlin in Germany," jazz musician Dwiki Dharmawan said here on Saturday.

The ITB Berlin is the world`s largest tourism trade fair, and the companies represented at the fair include hotels, tourist boards, tour operators, system providers, airlines and car rental companies.

Dwiki said that kolintang has a chance to be listed by UNESCO as a cultural heritage because it remains a favorite music for many people, not only in Minahasa but also in other parts of Indonesia.

"Kolintang is a typical musical instrument from Minahasa, and it continues to be maintained by the local community," Dwiki said.

He noted that there were even a lot of seminars about that particular musical instrument, and therefore the performance at ITB Berlin would raise its prestige.

North Sulawesi Governor Sinyo Sarundajang has said it was a pride of the province that the traditional kolintang musical instrument could stand alongside other modern ones.

He noted that kolintang could be played together with a variety of other musical equipment.

"North Sulawesi will even try to blends kolintang, baimboo music and Maengket dance because it is unique in its nature," Sarundajang noted.

Therefore he expressed hope that the Association of National Kolintang Artists (Pinkan) would be able to create a variety of variants that have to do with kolintang.

Meanwhile, art and cultural based creative economy director general at the Tourism and Creative Economy Ministry, Ahman Syah said that amidst technological advances, kolintang remains alive and even has a place in the Pinkan organization.

"We hope the Association of National Kolintang Artists will play its active role in preserving and developing kolintang traditional music," Ahman Syah said when opening a national seminar on kolintang music in North Minahasa late in January 2013.

The seminar was organized by Pinkan in cooperation with Manado State University and North Sulawesi culture and tourism office in an effort to maintain and preserve the national culture and arts.

At the time he expressed hope that the seminar would encourage and advance the success of kulintang music among the people of Minahasa in particular and Indonesia in general.

Originated from Minahasa, North Sulawesi, kolintang musical instrument is made of light but solid local wood whose fiber construction appears in parallel lines.

That kind of music can produce a long sound which can reach high pitch note as well as low pitch note when struck.

In its early days, Kolintang originally consisted of only a series of wooden bars placed side by side in a row on the legs of the players who would sit on the floor with both legs stretched out in front of them.

Later on, the function of the legs was replaced either by two poles of banana trunk or by a rope which hung them up to a wooden plank.

Kolintang had a close relationship with the traditional belief of Minahasa natives which was usually played in ancestor worshiping rituals.

That traditional musical instrument was nearly left behind for about 100 years since Christianity came to Minahasa, but in World War II a blind musician, Nelwan Katuuk, reconstructed it accordingly to universal music scales.

The spread of Kulintang has expanded across different linguistic and ethnic groupings, and thus it is time for North Sulawesi to propose it to UNESCO with a hope to be declared as a world intangible heritage. (*)

Editor: Priyambodo RH
COPYRIGHT © 2013

Kota Tondano

Kota Tondano merupakan ibukota Kabupaten Minahasa, Provinsi Sulawesi Utara. Kota Tondano meliputi empat dari 19 kecamatan yang ada di Kab...