Wednesday, June 26, 2013

Pulau Lembe - Bitung, Sulawesi Utara

Pulau Lembeh Milik Siapa ?


IDENTITASnews (Minahasa) - ALKISAH pada zaman dahulu kala di abad ke- 14 di pulau Sangihe hidup sorang pria yang bernama "Ungke Hengkengunaung". Konon Hengkengunaung, merupakan laki-laki yang berpostur tubuh tinggi besar dan memiliki ilmu kekebalan tubuh.
Di masa itu, Hengkengunaung mempunyai hubungan erat dengan 9 (sembilan) walak yang ada di tanah Minahasa. Di era itu, banyak orang-orang Mindanau atau yang lebih dikenal dengan bajak laut (perompak) ingin masuk menguasai tanah Minahasa. Di abad yang sama inilah, para perompak-perompak itu berlayar menuju daratan Toar Lumimuut dengan menggunakan perahu melewati jalur laut pulau Sangihe.

SAAT itu beberapa anak buah "ungke" Hengkengunaung, terkejut melihat ada sekelompok besar perahu yang melayani dan melewati laut Sangihe, yang menjadi wilayah kekuasaan Hengkengunaung. Ternyata setelah diselidiki oleh anak buah Hengkengunaung terlihat kekuatan perompak di perkirakan 30 armada perahu dilengkapi kurang lebih 300 personil perompak.

Peristiwa itu langsung dilaporkan kepada Hengkengunaung. Tanpa tendeng aling-aling ungke, Hengkengunaung langsung menggerahkan pasukannya menuju Manado. Saat itu perkiraan mereka meleset, ternyata pasukan Mindanau berlabuh di pantai Tondano (Kapataran) dimana pantai tersebut saat ini dinamakan pantai kora-kora yang diambil dari ke 30 nama perahu tersebut, sebab perahu yang ditumpangi para perompak itu namanya Kora-kora.
Kekuatan pasukan Mindanau saat itu sudah menguasai wilayah Tondano. Pasukan Hengkengunaung bergerak menyelusuri lembah dan bukit-bukit menuju wilayah Tomohon dan bertemu dengan pasukan Mindanau diantara Tomohon dan Tondano. Maka saat itu pula terjadi perang antara pasukan Hengkengunaung dan pasukan Mindanau.

Konon peperangan tersebut memakan waktu tujuh hari tujuh malam. Sehingga pasukan Hengkengunaung dengan dibantu oleh kesatria-kesatria dari Tondano dan Tomohon, berhasil memenangkan peperangan tersebut. Ketiga ratus pasukan Mindanau tewas ditempat. Tempat peperangan ini yang sekarang dinamakan Kasuang, (diambil dari bahasa Sangihe-red), "artinya, mayat-mayat bergelim-pangan". Setelah memperoleh kemenangan para walak Minahasa mengundang Hengkengunaung bersama pasukannya dalam acara kemenangan atas perompak yang diadakan di Tondano.
Acara itu diisi dengan tarian-tarian Cakalele, Maengket. Selanjutnya ke sembilan walak Tombulu, Tonsawang, Tolour, Tountemboan, Tonsea, Ponosakan, Pasan Ratahan, Bantik Minahasa dan Tombariri mengadakan rapat dalam rangka memutuskan untuk memberikan penghargaan kepada Hengkengunaung. Pertama-tama dalam keputusan rapat tersebut ditawarkanlah pada Hengkengunaung untuk dikawinkan dengan seorang gadis Minahasa. Selaku laki-laki normal, Hengkengunaung sangat ingin mempersunting gadis Minahasa, tapi begitu dia melihat pasukannya yang kelelahan, timbul rasa kemanusiaannya, karena saat itu Hengkengunaung berkeinginan memerlukan tempat beristirahat. Maka Hengkengunaung dengan kerendahan hati, dalam rapat para walak saat itu, memohon kalau bisa tawaran yang luar biasa tadi dapat diganti dengan sebuah tempat (tanah) untuk dijadikan tempat beristirahat bagi pasuksannya.
Rapat pun dilanjutkan dengan mempertimbangkan permintaan Hengkengunaung ini, saat itu disetujui oleh para walak-walak sebagai pimpinan rapat, dengan memberi sebagian tanah Minahasa yang belum dibagi itu kepada Hengkengunaung. Tanah tersebut adalah lembeh, "yang artinya tanah Sisa" untuk menjadi milik sebagai tanda terima kasih dari tou-tou Minahasa". 
Itulah kisah perjalanan sejarah pulau Lembeh yang kini masuk dalam wilayah pemerintahan Kota Bitung provinsi Sulawesi, yang adalah bagian integral dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang kita cintai. 

(oleh Efraim Lengkong, tulisan ini diambil dari beberapa sumber dan dari hasil seminar culture, di manila Philipinnes, tahun 1999)

Kota Tondano

Kota Tondano merupakan ibukota Kabupaten Minahasa, Provinsi Sulawesi Utara. Kota Tondano meliputi empat dari 19 kecamatan yang ada di Kab...