"KABASARAN"
NAMA TARI PERANG MINAHASA
Sebetulnya sampai hari ini umumnya orang masih kurang mengetahui dengan cukup nama “Kabasaran” pada Tari Perang Minahasa. Secara semantik maupun etimologinya, memang tidak pas. Akar katanya, yakni “basar”, hanya dapat dipadankan dengan kata “basar” yang merupakan lafal dialek Melayu-Manado dari kata “besar” (lawan kata “kecil”) dalam bahasa Melayu. Berarti, bukan asli, dan baru berkembang belakangan.
Sesungguhnya, apa dan mengapa “kabasaran”?
Kabasaran adalah asli nama dari kata Minahasa, bukan berakar pada bahasa Melayu. Kabasaran berasal dari bahasa Bantik, salahsatu subetnis Minahasa.
Mengapa Bantik? Bukankah budaya sub-etnik yang pernah dominan dalam budaya Minahasa adalah – bergantian – Tonsawang dan Pasan-Ponosakan, Tombulu, Tonsea, kemudian Tontemboan dan Toulour. Ini soal sejarah kebudayaan [di Minahasa] yg sangat penting.
Proses pendominasian oleh budaya Barat (Portugis, Spanyol dan kemudian Belanda) berlangsung sangat efektif; bukan saja karena besarnya kadar efektivitas dari pihak dominator (kekuasaan kolonial) tetapi pula karena terdapat nilai-nilai budaya asli Minahasa yang mendorong penduduk di jazirah utara Sulawesi ini terbilang sangat membuka diri pada budaya Barat itu. Sementara itu, masyarakat Bantik, bukan saja di satu sisi belum langsung menjadi target utama Belanda (karena para antropolog dan etnolog dari Belanda belum memiliki pengetahuan yang memadai mengenai budaya Bantik), tetapi pula bersamaan dengan itu adalah masyarakat Bantik pulalah yang secara massif mengembangkan sikap counter-culture [hampir sepadan dengan Saminisme].
Catatan: Di sini saya katakan paling “massif”, sebab di semua subetnis Minahasa ada sikap seperti itu, tetapi hanya pada segelintir elite budayanya.
Nah, dalam posisi dan kondisi kultural Bantik dalam perbandingannya dengan subetnis Minahasa lainnya itulah, ketika di akhir 1950-an beriring semangat gerakan Permesta, kemudian antitesanya (masa berkuasanya PKI) yang tetap mengangkat seni budaya rakyat sesuai ideologi budayanya yakni Realisme-Sosialis, dan terus sampai memuncak pada masa pemerintahan Gubernur HV Worang yang berjuang secara extra untuk me-revival budaya Minahasa, ketika tari perang dikembangkan kembali di kampung-kampung seluruh Minahasa, dan kelompok-kelompok tari perang Bantik terbilang paling menonjol hingga tahun 1970-an, sementara nama yang dipakai selama itu yakni nama “Cakalele” yang diketahui juga digunakan masyaraka dari Maluku, maka nama dari Tari Perang Bantik “Kabasaran” itulah yang mulai meluas digunakan.
[Di kalangan penari perang Minahasa selain Bantik, kata “cakalele” bukan saja nama tariannya, tapi bahkan menjadi bagian inheren dari teks skenario sendratari tsb, diucapkan sebagai komando oleh pemimpinnya: “Cakalele!”]
Walaupun kebanyakan orang di kalangan semua subetnis Minahasa selain Bantik, tak terkecuali para penari Kabasarannya sendiri, umumnya tak tahu arti nama itu. Umumnya menganggap pemakaian nama/kata Kabasaran itu karena identik dengan kebesaran dan keagungan dari kondisi kemenangan perang – semacam perasaan triumphalic.
Jadi, apa arti Kabasaran dalam bahasa aslinya?
Kabasaran dalam bahasa Bantik berakar dari “kawasal ni sarian”; “kawasal”=mengikut/menurut, “sarian”=pemimpin-pasukan. Kawasal ni sarian : mengikuti arah dan komando sang pemimpin. Dalam hal tari: mengikuti gerak dan arahan pemimpin kelompok tari perang.
Lalu bagaimana “Kawasal ni Sarian” menjadi Kabasaran?
Ada 2 sekaligus gejala bahasa – yg sangat lumrah – yang terjadi di sini. Pertama pemendekan, kedua transfonetik atau perubahan bunyi. Pemendekan, misalnya: “can not” dlm bahasa Inggris menjadi cannot lalu berkembang lagi menjadi can’t, “pergi ke sana” atau “pergi sono” dalam dialek Jakarta menjadi “gi no”, atau “se kawanuata” dalam bahasa Minahasa menjadi “kawanua” saja tanpa perubahan arti. Begitulah “Kawasal ni Sarian” menjadi “Kawasalan” yang bukan saja tanpa berubah arti tapi bahkan lebih luas menjadi keseluruhan dari tari perang itu, bukan lagi hanya mengenai sikap para anggota penari [yang harus mengikuti pemimpinnya].
Mengenai proses transfonetik. Ada 2 yang terjadi. Huruf “w” menjadi “b” itu adalah gejala overcorrecting. Misalnya: karena banyak etnis di Nusantara cenderung mengucap “f” dan “v” menjadi “p” – nama Sylvie dipanggil Selpi, Femmy dipanggil Pemi, nafsu ditulis napsu; maka ketika mengoreksi menjadi kebablasan (over): bukan saja napas dikembalikan jadi nafas, pikiran jadi fikiran, tapi juga panas jadi fanas, proklamasi jadi froklamasi. Karena banyak serapan kata Melayu dan Jawa di Minahasa “b” menjadi “w” – batu menjadi watu (Watu Pinawetengan, Watu Tumotowa), babi menjadi wawi – maka terjadi overkoreksi: kawasalan jadi kabasalan, pinawetengan menjadi pinabetengan, padahal basal dan beteng tidak memiliki arti demikian dalam bahasa Bantik maupun subetnis lainnya di Minahasa.
Lalu tentang “L” dalam Kawasalan yang dijadikan “R”. Jangan salah kaprah, banyak ahli bahasa yang cenderung mengira bahwa pergeseran “kawasalan” menjadi “kabasaran” – mengenai konsonan “L” – itu adalah juga overkoreksi. Tidak! Dalam bahasa Bantik bunyi “L” memang cenderung dekat dan digandeng dengan “R”. [Bandingkan: dalam bahasa Tonsea bunyi “L” jadi “D”, loyot (manguni) menjadi doyot, Lumanauw menjadi Dumanauw.] Jadi, kawasalan menjadi kabasaran itu justru semakin mencapai cita asli Bantik. Wilayah pemukiman masyarakat Bantik di Molas, oleh orang Bantik dibilang Molrasa, Bailang dibilang Bailrang, Kalasei dibilang Kalrasei.
Taintu!
No comments:
Post a Comment