Pulau Lembeh Milik Siapa ?
IDENTITASnews (Minahasa)
- ALKISAH pada zaman dahulu kala di abad ke- 14 di pulau Sangihe hidup
sorang pria yang bernama "Ungke Hengkengunaung". Konon Hengkengunaung,
merupakan laki-laki yang berpostur tubuh tinggi besar dan memiliki ilmu
kekebalan tubuh.
Di masa itu, Hengkengunaung mempunyai
hubungan erat dengan 9 (sembilan) walak yang ada di tanah Minahasa. Di
era itu, banyak orang-orang Mindanau atau yang lebih dikenal dengan
bajak laut (perompak) ingin masuk menguasai tanah Minahasa. Di abad yang
sama inilah, para perompak-perompak itu berlayar menuju daratan Toar
Lumimuut dengan menggunakan perahu melewati jalur laut pulau Sangihe.
SAAT itu beberapa anak buah "ungke" Hengkengunaung, terkejut melihat ada sekelompok besar perahu yang melayani dan melewati laut Sangihe, yang menjadi wilayah kekuasaan Hengkengunaung. Ternyata setelah diselidiki oleh anak buah Hengkengunaung terlihat kekuatan perompak di perkirakan 30 armada perahu dilengkapi kurang lebih 300 personil perompak.
Peristiwa itu langsung dilaporkan kepada Hengkengunaung. Tanpa tendeng aling-aling ungke, Hengkengunaung langsung menggerahkan pasukannya menuju Manado. Saat itu perkiraan mereka meleset, ternyata pasukan Mindanau berlabuh di pantai Tondano (Kapataran) dimana pantai tersebut saat ini dinamakan pantai kora-kora yang diambil dari ke 30 nama perahu tersebut, sebab perahu yang ditumpangi para perompak itu namanya Kora-kora.
Kekuatan pasukan Mindanau saat itu sudah
menguasai wilayah Tondano. Pasukan Hengkengunaung bergerak menyelusuri
lembah dan bukit-bukit menuju wilayah Tomohon dan bertemu dengan pasukan
Mindanau diantara Tomohon dan Tondano. Maka saat itu pula terjadi
perang antara pasukan Hengkengunaung dan pasukan Mindanau.
Konon peperangan tersebut memakan waktu tujuh hari tujuh malam. Sehingga pasukan Hengkengunaung dengan dibantu oleh kesatria-kesatria dari Tondano dan Tomohon, berhasil memenangkan peperangan tersebut. Ketiga ratus pasukan Mindanau tewas ditempat. Tempat peperangan ini yang sekarang dinamakan Kasuang, (diambil dari bahasa Sangihe-red), "artinya, mayat-mayat bergelim-pangan". Setelah memperoleh kemenangan para walak Minahasa mengundang Hengkengunaung bersama pasukannya dalam acara kemenangan atas perompak yang diadakan di Tondano.
Acara itu diisi dengan tarian-tarian
Cakalele, Maengket. Selanjutnya ke sembilan walak Tombulu, Tonsawang,
Tolour, Tountemboan, Tonsea, Ponosakan, Pasan Ratahan, Bantik Minahasa
dan Tombariri mengadakan rapat dalam rangka memutuskan untuk memberikan
penghargaan kepada Hengkengunaung. Pertama-tama dalam keputusan rapat
tersebut ditawarkanlah pada Hengkengunaung untuk dikawinkan dengan
seorang gadis Minahasa. Selaku laki-laki normal, Hengkengunaung sangat
ingin mempersunting gadis Minahasa, tapi begitu dia melihat pasukannya
yang kelelahan, timbul rasa kemanusiaannya, karena saat itu
Hengkengunaung berkeinginan memerlukan tempat beristirahat. Maka
Hengkengunaung dengan kerendahan hati, dalam rapat para walak saat itu,
memohon kalau bisa tawaran yang luar biasa tadi dapat diganti dengan
sebuah tempat (tanah) untuk dijadikan tempat beristirahat bagi
pasuksannya.
Rapat pun dilanjutkan dengan
mempertimbangkan permintaan Hengkengunaung ini, saat itu disetujui oleh
para walak-walak sebagai pimpinan rapat, dengan memberi sebagian tanah
Minahasa yang belum dibagi itu kepada Hengkengunaung. Tanah tersebut
adalah lembeh, "yang artinya tanah Sisa" untuk menjadi milik sebagai
tanda terima kasih dari tou-tou Minahasa".
Itulah kisah perjalanan
sejarah pulau Lembeh yang kini masuk dalam wilayah pemerintahan Kota
Bitung provinsi Sulawesi, yang adalah bagian integral dari Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang kita cintai.
(oleh Efraim Lengkong, tulisan ini diambil dari beberapa sumber dan dari hasil
seminar culture, di manila Philipinnes, tahun 1999)
No comments:
Post a Comment