ASAL NAMA MINAHASA
Oleh: Harry Kawilarang
Johan H. Pangemanan adalah redaktur harian bahasa Melayu, “Pos Jawa-Tengah” di Semarang. Keturunan Kawanua ini gundah karena memikirkan anak-anak militer turunan Minahasa yang terlantar di tanah Jawa. Kala itu Pangemanan tengah memikirkan tempat penampungan untuk mereka ini, dan berniat untuk membentuk suatu lembaga atau organisasi penampungan. Ide filantropis berkembang dan bukan hanya pada anak-anak terlantar, tetapi juga para pelajar yang sedang menuntut ilmu tetapi belum ada pemondokan. Lembaga ini juga berusaha menampung lapangan kerja bagi anak-anak muda yang sudah lulus perguruan-tinggi tetapi belum mendapat pekerjaan di tanah Jawa.
Muncul dibenak untuk menamakan organisasi ini dengan sebutan Roekoen Minahasa. Sebutan Minahasa diambil karena istilah yang menjadi nama suku-bangsa tenggelam dipermukaan. Dan orang asal daerah di Sulawesi-Utara lebih menonjol dengan sebutan “Hollanda Manado” bagi suku Minahasa diperantauan. Padahal Manado adalah nama kota dan bukan suku-bangsa. Selain itu sebutan tanah Minahasa di juluki sebagai “De Twaalfde Provintie van Nederland.” Faktor-faktor ini tidak disenangi masyarakat intelektual Minahasa yang gandrung pada nama Minahasa sebagai bagian dari proses kebangkitan identitas diri bagi turunan asal Sulawesi Utara. Disepakati untuk memunculkan nama Minahasa dengan sasaran untuk membangkitkan kembali rasa ikatan kesatuan untuk kemajuan sesama Kawanua perantauan. Untuk itu didirikan organisasi Roekoen Minahasa pada bulan Agustus 1912 di kota Semarang.
Di tahun 1994, Capt. Billy Matindas (Alm.) memberikan buku, “Minahasa: Sejarah dan Derap Langkahnya Menuju Kemerdekaan Indonesia” yang disusun oleh H.B.Palar dan L.A.Anes (terbitan Tarsius, 1994). “Ngana boleh pake buku ini voor referensi,” ujar Billy sambil menyodorkan buku sampul merah ini. Dari buku ini terungkap bahwa nama Minahasa adalah sebutan dari hasil ikatan kebhinekaan beberapa unsur ethnis dan sub-ethnis internal maupun eksternal dengan latar belakang asal-usul serta karakter yang berbeda. Penyatuan itu muncul sebagai akibat dari konflik diantara para penghuni yang merugikan satu sama lain sementara daratan Sulawesi Utara terancam penetrasi luar.
Para paderi Spanyol menamakan “orang-orang gunung” (dalam bahasa Belanda: Bovenlanders) ini dengan sebutan “Batasaina” (diambil dari kata Wata’esa ene, bahasa gunung) yang di artikan dengan masyarakat yang diikat, dipersatukan dan di jiwai oleh keseia-sekataan, kesetiakawanan, loyalitas dan solidaritas, pendapat Pastor Blas Palomino OFM. Minahasa merupakan ikatan kesatuan dari kelompok-kelompok republik (dorp republieken). Sementara Dr. P.J. Bouman berpendapat bahwa masyarakat Batasaina adalah masyarakat hitrogen dan menganut faham kolektif individualis. Namun begitu, mereka mengenal dan memiliki satu lembaga tertinggi, yang anggota-anggotanya adalah wakil-wakil yang dipilih langsung oleh masyarakat melalui proses demokrasi dengan persyaratan, “si enteh, wuaya wo siga = yang kuat, berani dan bijaksana.” Lembaga ini disebut “Dewan Wali Pakasaan,” dan oleh Belanda disebut “Raad der Dorpshoofden.” Lambat laun Batasaina mulai mendapat nama baru dan pada akhirnya dikenal dengan sebutan “Minahasa,” yang oleh Kompeni Belanda dinilai sebagai “Dorp Republiek” ukuran kecil.Penyatuan dengan sebutan Minahasa ini mengingatkan kita pada masyarakat Jepang yang termotivasi menghadapi ancaman kekuatan luar. Mereka ini mengibaratkan sebagai anak-anak ayam yang kehilangan induk dan harus berada di satu kandang. Siapapun yang ada di luar akan dilahap oleh naga (Cina) atau beruang (Rusia).
Peristiwa penyatuan Minahasa yang kemudian menjadi identitas suku-bangsa diperkirakan terjadi di abad ke-XVI, ketika wilayah mereka terancam oleh invasi luar. Ketika itu kesultanan Ternate yang ingin merebut dan mengklaim Minahasa sebagai wilayah fazalnya, karena memiliki asset ekonomi potensial. Bahkan daerah yang subur ini juga pernah di klaim oleh kesultanan Makassar. Tetapi berhasil dihalau oleh “perang kabasaran” orang-orang Gunung. Pada buku “A History of South-east Asia,” (edisi IV, 1988) tulisan D.G.E. Hall menulis bahwa Minahasa mulai mengenal kolonialisme Barat justru oleh kedua kesultanan itu untuk “menjinakkan” orang-orang gunung. Portugis masuk daerah ini atas ajakan kesultanan Ternate. Cara serupa juga dilakukan kesultanan Makassar menggunakan kekuatan Spanyol. Baik Portugis maupun Spanyol gagal menjinakkan “orang-orang gunung” ini. Yang di lakukan kedua negeri yang kemudian bergabung menjadi kesatuan Hispanik dibawah kerajaan Spanyol (1850) tidak melakukan pendekatan melalui tekanan pedang dan mariam, seperti biasanya dilakukan terhadap negeri-negeri lain, tetapi melalui diplomasi budaya dan agama. Sebaliknya, cara pendekatan ini digunakan oleh masyarakat untuk keluar dari keterkucilan dunia luar. Dengan motivasi, menguasai budaya, hukum dan pendidikan “Barbar,” menjadi senjata untuk melawan “Barbar.” Cara ini mirip semboyan “Sonno Joy,” dari Jepang, “Melawan Barbar dengan menggunakan senjata Barbar,” ketika mengembangkan program Restorasi Meiji di tahun 1860an menuju modernisasi Jepang.
Sebagai hasilnya, proses “transformasi kultural” terhadap pendidikan westernisasi digunakan masyarakat Minahasa untuk membuka diri dan dapat berantisipasi dengan trend global yang berkembang tanpa menghilangkan identitas ke Minahasaannya.
Motivasi Minahasa memiliki kejuangan identitas hingga masyarakat ini tidak merasa terjajah. Ambil contoh ketika pihak Kompeni VOC melakukan pendekatan dengan masyarakat Minahasa juga bukan dengan tekanan militer. Bahkan terbentuk pakta keamanan bersama antara Dewan Wali Pakasaan dengan Belanda. Hal ini ditandai dengan pada perjanjian 10 Januari 1679, yang secara implisit Belanda mengakui eksisteni Masyarakat Minahasa dan mempunyai kedudukan sama tinggi dengan Belanda: Merdeka dan Berdaulat.
Sejarah Minahasa memiliki pasang-surut memang amat unik, tetapi banyak yang tidak memahami dan mengenal, terutama generasi “Baby Boomer” keatas. Hal ini terjadi, karena “text Book” sejarah nasional hanya dimanfaatkan oleh kepentingan kepemimpinan rezim melakukan “cuci otak” guna mempertahankan supremasi premordial dan juga supremasi sektarian asal dari pemimpin atau kelompok yang menguasai rezim. Akibatnya, nilai kesejarahan mengalami pembiasan karena melulu hanya pada kepentingan budaya homogen secara sepihak akan merugikan bangsa yang terdiri dari berbagai suku-bangsa yang kaya dengan aneka ragam budaya dan memiliki sejarahnya. Tetapi yang terakhir ini, cenderung terhapus oleh egoisme rezim. Tetapi roda bumi itu berputar dan tidak dapat dihentikan oleh ruang-waktu, sejarah pun akan kembali, dan walau apapun yang dilakukan, tetapi identitas sejarah itu tetap saja akan muncul dipermukaan oleh tingkat kesadaran bagi mereka yang ingin mendalami identitas untuk diketahui oleh dan digali oleh generasi mendatang untuk memiliki dan memahami kebenaran dari sejarah itu. Sejarah itu menjadi motivasi dan obsesi bagi generasi penerus menghadapi masa datang yang penuh tantangan. Itulah fungsi sejarah.
Oleh: Harry Kawilarang
Johan H. Pangemanan adalah redaktur harian bahasa Melayu, “Pos Jawa-Tengah” di Semarang. Keturunan Kawanua ini gundah karena memikirkan anak-anak militer turunan Minahasa yang terlantar di tanah Jawa. Kala itu Pangemanan tengah memikirkan tempat penampungan untuk mereka ini, dan berniat untuk membentuk suatu lembaga atau organisasi penampungan. Ide filantropis berkembang dan bukan hanya pada anak-anak terlantar, tetapi juga para pelajar yang sedang menuntut ilmu tetapi belum ada pemondokan. Lembaga ini juga berusaha menampung lapangan kerja bagi anak-anak muda yang sudah lulus perguruan-tinggi tetapi belum mendapat pekerjaan di tanah Jawa.
Muncul dibenak untuk menamakan organisasi ini dengan sebutan Roekoen Minahasa. Sebutan Minahasa diambil karena istilah yang menjadi nama suku-bangsa tenggelam dipermukaan. Dan orang asal daerah di Sulawesi-Utara lebih menonjol dengan sebutan “Hollanda Manado” bagi suku Minahasa diperantauan. Padahal Manado adalah nama kota dan bukan suku-bangsa. Selain itu sebutan tanah Minahasa di juluki sebagai “De Twaalfde Provintie van Nederland.” Faktor-faktor ini tidak disenangi masyarakat intelektual Minahasa yang gandrung pada nama Minahasa sebagai bagian dari proses kebangkitan identitas diri bagi turunan asal Sulawesi Utara. Disepakati untuk memunculkan nama Minahasa dengan sasaran untuk membangkitkan kembali rasa ikatan kesatuan untuk kemajuan sesama Kawanua perantauan. Untuk itu didirikan organisasi Roekoen Minahasa pada bulan Agustus 1912 di kota Semarang.
Di tahun 1994, Capt. Billy Matindas (Alm.) memberikan buku, “Minahasa: Sejarah dan Derap Langkahnya Menuju Kemerdekaan Indonesia” yang disusun oleh H.B.Palar dan L.A.Anes (terbitan Tarsius, 1994). “Ngana boleh pake buku ini voor referensi,” ujar Billy sambil menyodorkan buku sampul merah ini. Dari buku ini terungkap bahwa nama Minahasa adalah sebutan dari hasil ikatan kebhinekaan beberapa unsur ethnis dan sub-ethnis internal maupun eksternal dengan latar belakang asal-usul serta karakter yang berbeda. Penyatuan itu muncul sebagai akibat dari konflik diantara para penghuni yang merugikan satu sama lain sementara daratan Sulawesi Utara terancam penetrasi luar.
Para paderi Spanyol menamakan “orang-orang gunung” (dalam bahasa Belanda: Bovenlanders) ini dengan sebutan “Batasaina” (diambil dari kata Wata’esa ene, bahasa gunung) yang di artikan dengan masyarakat yang diikat, dipersatukan dan di jiwai oleh keseia-sekataan, kesetiakawanan, loyalitas dan solidaritas, pendapat Pastor Blas Palomino OFM. Minahasa merupakan ikatan kesatuan dari kelompok-kelompok republik (dorp republieken). Sementara Dr. P.J. Bouman berpendapat bahwa masyarakat Batasaina adalah masyarakat hitrogen dan menganut faham kolektif individualis. Namun begitu, mereka mengenal dan memiliki satu lembaga tertinggi, yang anggota-anggotanya adalah wakil-wakil yang dipilih langsung oleh masyarakat melalui proses demokrasi dengan persyaratan, “si enteh, wuaya wo siga = yang kuat, berani dan bijaksana.” Lembaga ini disebut “Dewan Wali Pakasaan,” dan oleh Belanda disebut “Raad der Dorpshoofden.” Lambat laun Batasaina mulai mendapat nama baru dan pada akhirnya dikenal dengan sebutan “Minahasa,” yang oleh Kompeni Belanda dinilai sebagai “Dorp Republiek” ukuran kecil.Penyatuan dengan sebutan Minahasa ini mengingatkan kita pada masyarakat Jepang yang termotivasi menghadapi ancaman kekuatan luar. Mereka ini mengibaratkan sebagai anak-anak ayam yang kehilangan induk dan harus berada di satu kandang. Siapapun yang ada di luar akan dilahap oleh naga (Cina) atau beruang (Rusia).
Peristiwa penyatuan Minahasa yang kemudian menjadi identitas suku-bangsa diperkirakan terjadi di abad ke-XVI, ketika wilayah mereka terancam oleh invasi luar. Ketika itu kesultanan Ternate yang ingin merebut dan mengklaim Minahasa sebagai wilayah fazalnya, karena memiliki asset ekonomi potensial. Bahkan daerah yang subur ini juga pernah di klaim oleh kesultanan Makassar. Tetapi berhasil dihalau oleh “perang kabasaran” orang-orang Gunung. Pada buku “A History of South-east Asia,” (edisi IV, 1988) tulisan D.G.E. Hall menulis bahwa Minahasa mulai mengenal kolonialisme Barat justru oleh kedua kesultanan itu untuk “menjinakkan” orang-orang gunung. Portugis masuk daerah ini atas ajakan kesultanan Ternate. Cara serupa juga dilakukan kesultanan Makassar menggunakan kekuatan Spanyol. Baik Portugis maupun Spanyol gagal menjinakkan “orang-orang gunung” ini. Yang di lakukan kedua negeri yang kemudian bergabung menjadi kesatuan Hispanik dibawah kerajaan Spanyol (1850) tidak melakukan pendekatan melalui tekanan pedang dan mariam, seperti biasanya dilakukan terhadap negeri-negeri lain, tetapi melalui diplomasi budaya dan agama. Sebaliknya, cara pendekatan ini digunakan oleh masyarakat untuk keluar dari keterkucilan dunia luar. Dengan motivasi, menguasai budaya, hukum dan pendidikan “Barbar,” menjadi senjata untuk melawan “Barbar.” Cara ini mirip semboyan “Sonno Joy,” dari Jepang, “Melawan Barbar dengan menggunakan senjata Barbar,” ketika mengembangkan program Restorasi Meiji di tahun 1860an menuju modernisasi Jepang.
Sebagai hasilnya, proses “transformasi kultural” terhadap pendidikan westernisasi digunakan masyarakat Minahasa untuk membuka diri dan dapat berantisipasi dengan trend global yang berkembang tanpa menghilangkan identitas ke Minahasaannya.
Motivasi Minahasa memiliki kejuangan identitas hingga masyarakat ini tidak merasa terjajah. Ambil contoh ketika pihak Kompeni VOC melakukan pendekatan dengan masyarakat Minahasa juga bukan dengan tekanan militer. Bahkan terbentuk pakta keamanan bersama antara Dewan Wali Pakasaan dengan Belanda. Hal ini ditandai dengan pada perjanjian 10 Januari 1679, yang secara implisit Belanda mengakui eksisteni Masyarakat Minahasa dan mempunyai kedudukan sama tinggi dengan Belanda: Merdeka dan Berdaulat.
Sejarah Minahasa memiliki pasang-surut memang amat unik, tetapi banyak yang tidak memahami dan mengenal, terutama generasi “Baby Boomer” keatas. Hal ini terjadi, karena “text Book” sejarah nasional hanya dimanfaatkan oleh kepentingan kepemimpinan rezim melakukan “cuci otak” guna mempertahankan supremasi premordial dan juga supremasi sektarian asal dari pemimpin atau kelompok yang menguasai rezim. Akibatnya, nilai kesejarahan mengalami pembiasan karena melulu hanya pada kepentingan budaya homogen secara sepihak akan merugikan bangsa yang terdiri dari berbagai suku-bangsa yang kaya dengan aneka ragam budaya dan memiliki sejarahnya. Tetapi yang terakhir ini, cenderung terhapus oleh egoisme rezim. Tetapi roda bumi itu berputar dan tidak dapat dihentikan oleh ruang-waktu, sejarah pun akan kembali, dan walau apapun yang dilakukan, tetapi identitas sejarah itu tetap saja akan muncul dipermukaan oleh tingkat kesadaran bagi mereka yang ingin mendalami identitas untuk diketahui oleh dan digali oleh generasi mendatang untuk memiliki dan memahami kebenaran dari sejarah itu. Sejarah itu menjadi motivasi dan obsesi bagi generasi penerus menghadapi masa datang yang penuh tantangan. Itulah fungsi sejarah.
No comments:
Post a Comment